MAKNA
BHINEKA TUNGGAL IKA
Menurut
para ahli sejarah, motto "Bhineka Tunggal Ika" pertama kali dijumpai
naskah "Sutasoma". Naskah ini ditulis oleh Mpu Tantular saat Raja
Hayam Wuruk, penguasa Kerajaan Majapahit (1350-1389). Potongan pernyataan
"Bhineka Tunggal Ika" dipetik oleh Prof. Muh. Yamin dan disahkan
sebagai semboyan negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Dalam
naskah aslinya kalimat "Bhineka Tunggal Ika" terungkap melalui
pernyataan "Hyang Budha Tanpahi Siwa
raja dewa... mangka jinatwa lawan siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika
tanhana dharma mangrwa". artinya "Hyang Budha tiada bedanya
dengan Siwa, raja para dewa... karena hakikat Jina (Budha) dan Siwa adalah
satu, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran bermuka dua". Maka menurut
penggalan kalimat tersebut disimpulkan bahwa makna Bhineka Tunggal Ika adalah
berbeda beda namun tetap satu jua.
SEJARAH
DIGUNAKANNYA “BHINEKA TUNGGAL
IKA” MENJADI
SEMBOYAN NEGARA INDONESIA
Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi
bahan diskusi terbatas antara Muhammad Yamin, I Gusti Bagus Sugriwa, dan Bung
Karno di sela-sela sidang BPUPKI sekitar 2,5 bulan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia(Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri
mengemukakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciptaan Bung Karno pasca
Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika mendesain Lambang
Negara Republik Indonesia dalam bentuk burung Garuda Pancasila, semboyan
Bhinneka Tunggal Ika disisipkan ke dalamnya.
Secara resmi lambang ini digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yg dipimpin oleh Bung Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang diciptakan oleh Sultan Hamid ke-2 (1913-1978). Pada sidang tersebut mengemuka banyak usulan rancangan lambang negara, selanjutnya yang dipilih adalah usulan yang diciptakan Sultan Hamid ke-2 & Muhammad Yamin, dan kemudian rancangan dari Sultan Hamid yang akhirnya ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri atas beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya dan bahasa. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpajang melengkung dalam cengkeraman kedua cakar Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraanDewa Vishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Secara resmi lambang ini digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yg dipimpin oleh Bung Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang diciptakan oleh Sultan Hamid ke-2 (1913-1978). Pada sidang tersebut mengemuka banyak usulan rancangan lambang negara, selanjutnya yang dipilih adalah usulan yang diciptakan Sultan Hamid ke-2 & Muhammad Yamin, dan kemudian rancangan dari Sultan Hamid yang akhirnya ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri atas beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya dan bahasa. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpajang melengkung dalam cengkeraman kedua cakar Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraanDewa Vishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Dalam proses perumusan konstitusi
Indonesia, jasa Muh.Yamin harus diingat sebagai orang yang pertama kali
mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan
sesanti negara. Muh. Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal
sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan
kebesaran Majapahit (Prabaswara, I Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI
antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika
itu sendirian. Namun I Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk
di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana
dharma mangrwa.” Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin,
sekaligus menunjukkan bahwa di Baliungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih
hidup dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma
ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan
masyarakat intelektual Hindu Bali.
Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii, 2011).
TOKOH TOKOH
TERKAIT PERESMIAN BHINEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SEMBOYAN NEGARA
1.
Mpu
Tantular
Pengarang kitab Sutasomapada zaman Majapahit .Pada kitab inilah terdapat kalimat
Bhineka Tunggal Ika yang kemudian dijadikan semboyan Negara Indonesia.
2.
Muh
Yamin
Tokoh
yang mengusulkan kepada Bung Karno untuk meresmikan Bhineka Tunggal Ika
sebagai semboyan Negara Indonesia. Muh Yamin juga mengkaji dan mendalami makna
Bhineka Tunggal Ika.
3.
Bung
Karno
Tokoh yang mendukung dan meresmikan
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara Indonesia.
4.
I Gusti Bagus Sugriwa
Tokoh yang membantu Muh Yamin
menyerukan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara pada sidang BPUPKI
(1945)
5.
Sultan
Hamid II
Perancang lambang Garuda, dimana pada
lambang tersebut terdapat perisai yang didalamnya terdapat tulisan Bhine
Tunggal Ika.
TUJUAN SEMBOYAN BHINEKA TUNGGAL IKA
Inti dari Bhineka Tunggal Ika adalah
walaupun berbeda beda tetapi tetap satu jua. Makna yang terkandung di dalamnya
sangatlah luas. Maka dari itu perlu keterangan tentang implementasi apa saja
yang akan dicapai apabila kita benar benar menerapkan semboyan tersebut.
1. Perilaku
inklusif.
Dalam kehidupan bersama yang menerapkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai
individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari
kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya
dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang
lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna
bagi kehidupan bersama.
2. Mengakomodasi sifat
pluralistik.
Bangsa Indonesia sangat pluralistik
ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya
yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan
menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu
dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara
mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi
disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan
masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat,
tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok
dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa
Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh
sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang
disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak
melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada
wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu
membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak
membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya.
Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan
masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
3. Tidak mencari
menangnya sendiri.
Menghormati pendapat pihak lain, dengan
tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau
kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal
Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang
dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan,
tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus
diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk
itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Musyawarah untuk
mencapai mufakat.
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam
keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.”
Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common
denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama.
Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan.
Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut
sebagai win win solution.
5. Dilandasi rasa
kasih sayang dan rela berkorban.
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang.
Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai
harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal
Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika
menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing
gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk
memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan
golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya
mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
6. Toleran dalam
perbedaan.
Setiap penduduk Indonesia harus
memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis
dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset
bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan
menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta
menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar